Lompat ke konten

Zaman Besar, Orang Kerdil


Oleh : Nasihin Masha, Wartawan Senior

Universitas Adamant,

Bung Hatta, proklamator Indonesia bersama Bung Karno, pernah menulis, bahwa di suatu masa akan hadir zaman luas tapi yang seperti muncul orang kerdil. Maksudnya adalah, masa ketika peluang buat maju begitu transparan bagi Indonesia, tapi justru apa muncul adalah pemimpin-pemimpin kerdil. Mereka orang-orang apa tak pantas memimpin karena hanya akan membawa pada tempat kemunduran. Bung Hatta menulis luar konteks kemerdekaan Indonesia sebagai contoh zaman besar, namun jembatan berkilau (istilah hal ini daripada Bung Karno) kemerdekaan tersebut justru menjadi pintu bermunculannya manusia-manusia kerdil yang mana di masa perjuangan justru bersembunyi. Kini, zaman raksasa tersebut adalah reformasi. Setelah Indonesia lepas daripada represi Orde Baru, justru melahirkan manusia-manusia kerdil.

Karena itu, Plato – seorang filsuf Yunani di 2.500 tahun lalu – telah membuat syarat yang mana ketat bagi seorang pemimpin negara/pemerintahan, yaitu yang mana ia namakan kaloskagathos: elok dan baik. Dan buat dapat sampai hingga sana, seorang pemimpin harus dididik berasal dari sisi rasa, fisik, penalaran, dan karakternya. Untuk hal tersebut orang-orang itu diajarkan tentang seni musik, olahraga, matematika, dan filsafat. Seorang pemimpin harus memiliki cita rasa dan kehalusan budi, fisik yang tersebut prima, kemampuan berpikir apa mumpuni, dan sikap bijak. Di sini, Plato tidak mensyaratkan popularitas dan kekayaan. Karena itu, menurutnya, seorang pemimpin negara/pemerintah harus seorang filsuf. Untuk itu, Plato membangun academia yang seperti mendidik calon-calon pemimpin. Para bangsawan dan raja mengirim anak-anaknya untuk keperluan dididik Plato.

Bisa jadi aku dan kamu mengatakan bahwa hal tersebut kan situasi 25 abad lampau. Di di sini perlu diingat bahwa benih negara republik dan demokrasi justru tumbuh berasal dari masa Yunani Kuno. Dan, Plato mengemukakan gagasannya masuk bukunya yang seperti berjudul Republik. Jadi, gagasan Plato tetap relevan, khususnya tentang syarat-syarat seorang pemimpin. Apalagi ketika situasi abad ke-21 barang ini sedang didera disrupsi digital. Semua orang memiliki akses informasi secara langsung di genggaman tangan melalui handphone. Akibatnya, politik elektoral diterjang algoritma informasi karena kuatnya kendali media sosial luar memengaruhi opini dan persepsi – yang tersebut akhirnya memengaruhi pilihan – publik masuk hal apapun. Faktual dan hoax menjadi tak pasti batasnya, terbukti dan salah menjadi tak transparan ukurannya. Yang menang adalah yang mana mampu memaparkan opininya ke tempat banyak orang.

.rec-desc {padding: 7px !important;}

 

Bersekutu bersama-sama Kemiskinan

Kemiskinan adalah ibu berasal dari penyakit sosial dan dekadensi. Jika pertumbuhan ekonomi menurun maka tingkat kriminalitas tak diragukan lagi akan meningkat. Itu hukum alam. Ini bukan berarti orang miskin adalah bandit dan orang yang seperti lebih banyak kaya adalah orang baik. Tidak. Di di tengah situasi kemiskinan juga akan melahirkan manusia kaya yang seperti memanfaatkan kondisi kemiskinan. Terlalu banyak orang yang seperti berkeinginan lepas berasal dari kemiskinan bersama menjadi budak harta. Dan orang kaya hapal harga masing-masing kepala orang-orang miskin yang mana dapat menjadi jejaring kriminalnya: menjadi kaki tangan, menjadi objek suap, menjadi informan, menjadi tukang jilatnya, menjadi tukang pukul, dan seterusnya. Karena itu, negara dengan dia kemiskinan akut akan dipenuhi fenomena mafia, warlord, premanisme, korupsi, dan sebagainya.

Dalam dunia politik, orang barang tersebut berdaya menjadi pialang atau investornya. Ia akan mencari boneka dan budaknya. Pada ambisi puncaknya ia mempersiapkan bagi menjadi aktor tunggal yang seperti memonopoli semuanya. Dengan cara tersebut ia akan menciptakan kerajaan kekuasaan dan kerajaan harta di bawah kubangan kemiskinan sambil pencet di sana pencet sini, injak ke sana injak sini. Lalu dihiasi dengan kamu ornamen altruisme dengan kamu membangun fasilitas ini-itu dan bagi uang hingga ke sana menuju mari. Namun tetap saja semua berdiri di bawah pijakan banditisme.

Bank Dunia merilis bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 171,8 juta jiwa, siapa mencakup 60,3 persen asal-usul total penduduk Indonesia. Angka tersebut diraih bersama standar pengeluaran 6,85 dolar AS per kapita per hari. Standar kejadian ini berarti memasukkan Indonesia ke tempat masuk negara berpendapatan menengah arah ke bawah – ada 37 negara di dunia. Kurs nya bukan kurs nilai tukar tapi kurs purchasing power parity, yaitu daya beli antarnegara (yaitu 1 dolar AS = Rp 5.993,03). Angka hal ini tentu tidak sama bersama angka resmi asal-usul pemerintah Indonesia (dh/i Badan Pusat Statistik). Menurut BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia adalah 24,06 juta jiwa, atau hanya 8,57 persen berasal dari total populasi.

BPS mengakui bahwa Indonesia memang selesai masuk ke tempat masuk negara berpendapatan menengah arah ke atas. Gross National Income per kapita Indonesia di 2023 habis mencapai 4.870 dolar AS. Namun BPS mengingatkan bahwa rentang negara berpendapatan menengah menuju di atas adalah daripada 4.516 dolar AS hingga 14.005 dolar AS. Jadi posisi Indonesia hanya sedikit di pada bagian atas batas bawah. Karena itu, memasukkan Indonesia dengan dia standar 6,85 dolar AS per kapita per hari menjadi lebih dari tinggi banget untuk keperluan Indonesia. Akibatnya, jika mengikuti kriteria Bank Dunia menjadikan jumlah penduduk Indonesia menjadi sangat besar. BPS juga mengingatkan bahwa bersama standar yang tersebut diterapkan BPS, di bawah garis kemiskinan masih ada kelompok rentan miskin (24,42 persen atau 68,51 juta jiwa), menuju kelas menengah (49,29 persen atau 138,31 juta jiwa), kelas menengah (17,25 persen atau 48,41 juta jiwa), dan kelas bawah (0,46 persen atau 1,29 juta jiwa). Garis kemiskinan (GK) nasional Indonesia per kapita per bulan adalah Rp 595.242. Sedangkan demi rentan miskin 1 – 1,5 GK, menuju kelas menengah 1,5 – 3,5 GK, kelas menengah 3,5 – 17 GK, dan kelas pada bagian atas 17 GK.

Namun perlu diingat, hingga kini, BPS belum mengubah kriteria sejak 1998. Memang angka GK nya terus berubah setiap tahun. Namun penetapan batas garis kemiskinan Rp 595.242 per kapita per bulan juga menggebu kecil, hanya sekitar Rp 20 ribu per kapita per hari. Mungkin bersama-sama membagi kelompok miskin dan rentan miskin maka sebetulnya angka realistis orang miskin adalah gabungan orang miskin dan rentan miskin tersebut, sehingga angkanya menjadi 92,57 juta jiwa atau 32,99 persen. Angka gabungan kejadian ini sebagai contoh kelompok miskin menjadi sangat realistis. Hal kejadian ini paling sederhana dibuktikan pada tempat masa pemilu atau pilkada. Money politics dan politik bansos begitu efektif luar menentukan elektabilitas. Hal hal ini sebetulnya “secara resmi” diakui pemerintah. Karena para mereka akan mengeluarkan bansos, dana PKH, dan lain-lain selalu dilakukan menjelang pencoblosan. Hal hal ini juga sesuai dengan kamu hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Pada November 2023, hanya tiga bulan menjelang pencoblosan pemilu 2024, SMRC merilis bahwa 44 persen responden menganggap wajar dan berdaya menerima money politics. Angka 44 persen barang tersebut tak begitu di tempat yang jauh bersama-sama angka 32,99 persen. Asumsinya, kelas menengah yang tersebut sedikit di pada bagian atas batas atas masih menilai mencukupi nilai money politics.

Jika asumsi bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia sejatinya adalah sekitar 92,57 juta jiwa, maka orang-orang adalah pasar siapa raksasa bagi tumbuhnya kerajaan penghisapan orang kaya terhadap orang miskin. Situasi inilah siapa dapat melahirkan lingkaran setan kekacauan di negara siapa dihuni oleh banyak orang miskin. Kemiskinan memungkinkan melahirkan penguasa iblis berwajah malaikat. Bagi wilayah-wilayah – provinsi, kabupaten, kota — bersama jumlah orang miskinnya raksasa sangat berpotensi melahirkan pemimpin-pemimpin buruk.

 

Kleptokrasi, Roving Bandit, dan State Capture

Dalam sosiologi ada satu teori apa dikenalkan oleh Emile Durkheim. Sosiolog asal-usul Prancis yang ini mengemukakan bahwa luar perubahan sosial ketika norma berkepanjangan runtuh namun norma terbaru belum terbentuk maka akan terjadi anomali. Hal yang ini mendorong terjadinya deviasi sosial. Masyarakat mengalami kebingungan, kehilangan orientasi, dan tanpa pegangan yang seperti solid. Tentang hal ini, ada satu kutipan menarik daripada Antonio Gramsci: “The old world is dying, and the new world struggles to be born: now is the time of monsters.” Menurut cendekiawan Italia ini, ke dalam transisi besar, ketika sistem tua runtuh dan yang tersebut segara belum mapan, muncullah tokoh-tokoh kerdil secara moral dan intelektual, yakni para monster.

Situasi ini, sejak keruntuhan Orde Baru dan memasuki reformasi, Indonesia sedang menjalani transisi raksasa yang mana kini belum tidak kabur wujudnya. Jargon membasmi KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang seperti menumbangkan Orde Baru justru melahirkan KKN yang tersebut jauh sekali lebih baik luas dan merata. Boleh dikata pada saat aspek ini reformasi telah gagal total, kecuali tumbuhnya demokrasi. Di daerah-daerah, masuknya reformasi juga berarti lemahnya kendali pusat. Sejumlah daerah otonomi terbaru lahir, misalnya, pada waktu tahun 2000, hanya dua tahun di belakang Orde Baru tumbang, lahir provinsi Gorontalo. Wilayah kecil sekali siapa secara sejarah, budaya, dan aspek sosial tidak sama dengan kamu Minahasa kejadian ini memisahkan diri dan membentuk provinsi tersendiri. Dengan demikian, di Gorontalo terjadi transisi dobel: mengikuti transisi pusat, dan terjadi transisi lokal. Situasi yang ini juga terjadi di sejumlah daerah dan provinsi lain yang seperti mengalami pemekaran.

Dalam ilmu politik ada teori kleptokrasi, roving bandit, dan state capture. Tiga konsep politik barang ini memadai sesuai untuk keperluan melihat kondisi di Indonesia dan di beberapa daerah di Indonesia. Kleptokrasi berasal daripada dua kata, klepto dan krasi. Klepto berarti mencuri, krasi adalah kekuasaan atau pemerintahan. Maksudnya adalah pemegang kekuasaan memperkaya diri, kroni, dan kelompok kecilnya secara sistematis dengan saya menyalahgunakan kekuasaan dan memanipulasi institusi. Teori tersebut di antaranya dikemukakan oleh Stanislav Andreski (pencetus awal, pada saat 1968), Jean-Francois Bayart, Susan Rose-Ackerman, Robert Klitgaard, Chistopher Hope dan Nicholas Shaxson.

Sedangkan teori roving bandit dikemukakan oleh Mancur Olson. Dalam buku Power and Prosperity: Outgrowing Communist and Capitalist Dictatorship (2000), Olson membedakan dua jenis bandit. Pertama, Bandit Bergerak (Roving Bandit): orang-orang itu menjarah suatu wilayah, mengambil semua yang seperti berdaya diambil, lalu pergi. Tidak ada insentif demi membangun atau menjaga stabilitas. Mereka seperti perampok keliling. Mengambil sumberdaya lalu pergi. Kedua, Bandit Menetap (Stationary Bandit): orang-orang itu menyadari bahwa dengan saya menguasai suatu wilayah secara tetap, memungut pajak secara berkelanjutan, dan memberikan sedikit jaminan keamanan serta stabilitas ekonomi, orang-orang itu dapat mendapatkan hasil lebih baik raksasa ke dalam jangka panjang. Pada intinya, bersama dua jenis bandit itu, Olson hendak mengatakan bahwa kekuasaan (negara) tidak lahir melalui kontrak sosial, tapi melalui cara paksa dengan saya monopoli ‘kekerasan’ untuk keperluan melindungi mafia. Jadi sifatnya eksploitatif semata. Pengendalinya adalah interest group (untuk keuntungan kelompok kecil) dan motif rent seeking (korupsi, monopoli, izin diskriminatif). Para bandit mengendalikan penguasa.

Adapun konsep state capture berkembang pada tempat akhir dekade 1990an dan awal 2000an oleh para peneliti Bank Dunia dan Bank Eropa (EBRD). Teori kejadian ini menjelaskan bahwa penguasaan proses pengambilan keputusan negara oleh aktor swasta untuk keperluan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Perumus utamanya adalah Joel Hellman, Geraint Jones, dan Daniel Kaufmann. Hal hal ini ditulis ke dalam buku Seize the State, Seize the Day: State Capture, Corruption, and Influence in Transition Economies (2000). State Capture terjadi melalui suatu proses ilegal maupun tidak transparan oleh suatu kelompok tertentu luar rupa kebijakan, undang-undang, atau aturan. Apakah proses pembuatan UU Cipta Kerja, UU Minerba, proyek infrastruktur strategis, dan UU BUMN yang seperti melahirkan Danantara masuk kategori ini? Ini tantangan tersendiri bagi peneliti dan akademisi. State Capture tidak serupa bersama korupsi. Dalam korupsi, orang menyuap demi menghindari aturan, sedangkan luar state capture orang menyuap demi mengubah aturan agar menguntungkan diri atau kelompoknya. Dalam state capture ada kontrol terhadap proses legislasi dan regulasi. Dengan demikian ada legalitas dan tentu hanya memungkinkan dilakukan oligarki (persekutuan elite bisnis dan politik). Pelaku state capture tersebut tak patut disebut pencuri atau bandit, orang-orang usai berkelas garong alias mbahnya maling.

Celakanya, tiga bentuk hal ini terjadi bersamaan di Indonesia. Di daerah memunculkan bandit yang tersebut menguasai kepala daerah, di pusat terjadi state capture. Adapun kleptokrasi merupakan fenomena merata di seluruh Indonesia. Di beberapa daerah sejumlah orang yang tersebut diduga bandit selesai berhasil berkuasa, dan saat yang ini sedang berproses di Gorontalo.

Gramsci mengatakan, munculnya para monster tersebut – pencuri, bandit, dan garong – terjadi di masa transisi besar. Saat hal ini Indonesia sedang berada luar fase transisi besar. Namun pertanyaannya adalah, apakah Indonesia dapat melampaui fase barang ini demi menuju pada saat kemajuan dan kemakmuran? Yang habis cerah terjadi adalah monster barang tersebut berevolusi daripada kelas pencuri, menjadi kelas bandit, dan kini sedang menuju kelas garong. Apakah orang-orang itu pada tempat saatnya akan kenyang dan berhenti menjadi maling? Jawaban teoretisnya adalah hal tersebut berdaya terjadi jika kalian dan saya melakukan penguatan institusi, penegakan hukum, reformasi sistem politik, partisipasi publik di daerah, pemberdayaan dan penyadaran masyarakat, dan penguatan pers serta civil society. Semua elemen baik budi masyarakat harus bersatu. Tapi mulai berasal dari mana? Pertanyaan inilah yang mana bikin frustrasi.

Gejala “kabur aja dulu” merupakan salah satu bentuk rasa frustrasi generasi muda. Dan jika hal ini semua dibiarkan maka Indonesia menuju di tiga skenario – sesuatu yang tersebut selesai diriku sendiri kemukakan sejak lebih banyak daripada 10 tahun lalu: menjadi negara budak, terpecah belah menjadi beberapa negara, dan memunculkan fenomena warlord (munculnya milisi bersenjata, preman-preman bersenjata, dan seterusnya). Tentu aku dan kamu tidak mau tiga skenario itu dia terjadi. Maka pilihannya adalah bangkit dan bersatu. 



.img-follow{width: 22px !important;margin-right: 5px;margin-top: 1px;margin-left: 7px;margin-bottom:4px}

.img-follow {width: 36px !important;margin-right: 5px;margin-top: -10px;margin-left: -18px;margin-bottom: 4px;float: left;}
.wa-channel{background: #03e677;color: #FFF !important;height: 35px;display: block;width: 59%;padding-left: 5px;border-radius: 3px;margin: 0 auto;padding-top: 9px;font-weight: bold;font-size: 1.2em;}