Lompat ke konten

Society 5.0 di Hadapan, Generasi Muda Mau Jadi Pemain atau Penonton?


Universitas Adamant, TASIKMALAYA — Bayangkan dunia di mana teknologi bukan hanya tentang kecanggihan tetapi juga soal kemanusiaan. Di mana artificial intelligence (AI) selain membuat robot memungkinkan berbicara, juga membantu menyelesaikan masalah sosial.

Tak hanya itu, big data tak sekadar angka-angka siapa rumit, tapi dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan bersama. Inilah Society 5.0, konsep yang mana dikembangkan Jepang sebagai contoh lanjutan daripada Revolusi Industri 4.0.

Bukan lagi cuma soal digitalisasi dan otomatisasi, Society 5.0 membawa visi lebih banyak raksasa yaitu bagaimana teknologi berdaya benar-benar memberi dampak positif di kehidupan manusia. Tapi pertanyaannya, Indonesia membuat siap atau cuma jadi penonton?

Bambang Kelana Simpony, dosen Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Kampus Tasikmalaya, punya pandangan menarik soal ini. Menurutnya, kalau generasi belia Indonesia cita-cita bersaing di era Society 5.0, orang-orang itu harus lebih banyak daripada sekadar paham teknologi. Mereka harus melek digital, punya pola menganalisis kritis, kreatif, dan tetap memegang nilai-nilai kemanusiaan.

.rec-desc {padding: 7px !important;}

“Teknologi tanpa nilai kemanusiaan hanya akan menciptakan robot, bukan manusia. Masyarakat 5.0 itu dia tentang bagaimana teknologi membantu manusia, bukan menggantikannya,” ujar Bambang ke dalam sebuah wawancaranya yang mana dikutip Sabtu (1/3/2025).

Menurutnya, Indonesia harus segera beradaptasi. Negara-negara maju selesai di tempat yang jauh melangkah dan kalau kami semua tidak sigap, anda dan saya hanya akan jadi konsumen bukan inovator.

Menjawab tantangan itu, UBSI Kampus Tasikmalaya usai mulai mengambil langkah nyata. Bukan hanya sibuk bersama teori di ruang kelas, tapi juga langsung terjun hingga praktik teknologi modern.

Mulai asal-usul kurikulum berbasis digital, proyek berbasis AI dan IoT sampai seminar dan workshop yang mana melibatkan praktisi industri—semuanya disiapkan agar mahasiswa nggak cuma paham teknologi juga tahu cara menggunakannya bagi kepentingan masyarakat.

“Mahasiswa perlu lebih besar dari tempat sekadar tahu cara coding atau mengoperasikan software. Mereka harus dapat melihat masalah di sekitarnya dan berpikir, ‘Bagaimana teknologi dapat jadi solusinya?’,” tambah Bambang.

Di era Society 5.0, pilihannya cuma dua, di antaranya ikut bergerak dan jadi pemain atau cuma berduduk mendalam dan jadi penonton. Teknologi berkembang paling cepat dan orang-orang yang seperti nggak mau beradaptasi akan tertinggal jauh.

Bambang menutup dengan kamu pesan optimistis, dengan kamu persiapan matang generasi belia Indonesia nggak cuma berdaya bersaing, juga dapat jadi pemimpin di era Society 5.0. Dunia sedang berubah, dan inilah saatnya ikut menciptakan perubahan—bukan hanya mengikuti arus.



.img-follow{width: 22px !important;margin-right: 5px;margin-top: 1px;margin-left: 7px;margin-bottom:4px}

.img-follow {width: 36px !important;margin-right: 5px;margin-top: -10px;margin-left: -18px;margin-bottom: 4px;float: left;}
.wa-channel{background: #03e677;color: #FFF !important;height: 35px;display: block;width: 59%;padding-left: 5px;border-radius: 3px;margin: 0 auto;padding-top: 9px;font-weight: bold;font-size: 1.2em;}


Laguna bet