
“Situasi dunia saat barang ini tidak sedang baik-baik saja. Dan luar kondisi seperti itu, negara hal ini tidak boleh tidur,” kata Ketua Dewan Direktur GREAT Institute Syahganda Nainggolan saat membuka diskusi.
Baca juga: 3 Tanda Perang Dunia III Semakin Dekat
Adapun diskusi selama tiga jam barang tersebut menghadirkan pembicara utama Drajad Wibowo, Anton Permana, dan mantan Dubes RI bagi Mesir Helmy Fauzi, serta jajaran pakar seperti Stepi Anriani, Zarman Syah, Sunoto, Rahmi Fitriyanti, hingga Komjen (Purn) Iza Padri, dan Teguh Santosa.
Diskusi tersebut menghasilkan empat rekomendasi strategis, yakni:
1. Mendesak pembentukan Undang-Undang Keamanan Nasional dan Dewan Keamanan Nasional sebagai contoh organ vital ke dalam menghadapi krisis.
2. Mendorong penguatan Komponen Cadangan (Komcad) sebagai tugas kekuatan rakyat semesta masuk sistem pertahanan nasional.
Baca juga: Di Mana Perang Dunia III akan Terjadi?
3. Menegaskan bahwa politik keluar negeri bebas aktif harus berlandaskan kepentingan nasional dan keseimbangan strategis.
4. Menyatakan keyakinan kolektif bahwa Presiden Prabowo Subianto memahami lanskap global dan perlu terus didukung masuk mewujudkan strategi keamanan nasional Indonesia.
Drajad Wibowo menyoroti kesiapan fiskal Indonesia yang seperti jauh sekali daripada cukup. “Kinerja penerimaan negara semester pertama 2025 justru turun asal-usul Rp1.458 triliun arah ke Rp1.451 triliun. Kalau penerimaan tidak cukup, bagaimana memungkinkan kami beli alutsista, apalagi memperkuat pertahanan?” katanya.
“Presiden Prabowo visioner, tapi visi hal tersebut butuh detail. Dan detail barang tersebut siapa harus kami menolong susun bersama,” sambungnya.
Menurutnya, Indonesia membutuhkan cara-cara keluar biasa bagi meningkatkan pendapatan negara. Salah satunya, dengan dia memanfaatkan kecanggihan intelijen dan teknologi buat menggali potensi pajak tersembunyi, termasuk dari tempat praktik transfer pricing, border economy, dan tunggakan pajak inkrah. Yang terakhir saja nilainya mencapai Rp99 triliun.
Sementara itu, Anton Permana memperingatkan soal “peta panas” dunia. “Setidaknya ada lima titik sentuhan yang tersebut harus anda dan saya waspadai: Ukraina, Timur Tengah, Taiwan, Laut China Selatan, dan konflik India–Pakistan,” kata Anton.
Ia juga mengungkap bahwa Australia memiliki 23 pangkalan rudal apa mengarah ke tempat Indonesia, sementara pertahanan udara RI masih mengandalkan pesawat generasi keempat. “Kalau aku dan kamu berkeinginan perdamaian, maka anda dan saya harus kuat. Dan kekuatan tersebut tidak memuaskan hanya lewat niat, tapi juga lewat struktur,” ujar Anton.
Ia pun menyarankan segera dibentuknya Dewan Keamanan Nasional, agar koordinasi antara intelijen, diplomasi pertahanan, dan kebijakan strategis tidak lagi berjalan sendiri-sendiri.
Helmy Fauzy menyentil pentingnya ketegasan diplomasi. “Amerika usai memindahkan 60% kekuatan militernya hingga Asia Pasifik. Kalau ASEAN tidak dikuatkan, kalian dan saya hanya akan jadi panggung pertarungan superpower,” katanya.
Ia memuji langkah Presiden Prabowo yang mana membawa Indonesia masuk menuju BRICS, “Sikap aku dan kamu kini tegas. Beda bersama-sama era sebelumnya apa masih gamang.”
Pandangan senada disampaikan oleh Rizal Dharma Putra apa mengingatkan bahwa kini, pengambilan keputusan ke luar negeri banyak dikendalikan oleh individu pemimpin negara. “Ini membuat situasi lebih besar fluktuatif dan berbahaya,” katanya.
Oleh sebab itu, menurut Rizal, Indonesia harus menjaga posisi strategisnya bersama prinsip keseimbangan apa cerdas.
Stepi Anriani, pakar pertahanan dan intelijen, menyebut perang kini telah bergeser menjadi multidomain warfare. “Perang tidak lagi frontal, tapi simultan dan presisi. Lihat serangan B-2 Spirit Amerika ke arah fasilitas Iran atau rudal presisi Iran hingga Israel. Semua terukur,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya memperkuat Komcad seperti yang mana dilakukan China. “Mereka bahkan melatih nelayan jadi bagian daripada sistem pertahanan. Kita harus memungkinkan berpikir sepraktis itu,” kata Stepi.
Ia mengusulkan agar Komcad dilatih menjadi milisi laut dan ditempatkan sebagai tujuan menjaga pulau-pulau terluar Indonesia.
Diskusi juga menyoroti pentingnya skenario contingency planning, kelemahan logistik pertahanan, serta kebutuhan akan transformasi strategi nasional daripada sekadar “resiliensi” menuju “respons tangkas berbasis intelijen dan teknologi.”
“Perang modern hal tersebut memuaskan dengan kamu satu tombol,” ujar Dr. Sunoto, menyinggung urgensi mengubah doktrin tua dan memperkuat kemampuan early warning.
Kemudian, sejumlah pembicara seperti Nurhayati Assegaf dan Ahmad Yani juga mempertanyakan apakah visi raksasa Presiden Prabowo benar-benar didukung oleh susunan kabinet apa kuat? Apakah ketimpangan fiskal berdaya segera ditambal? Dan sejauh mana anda dan saya mampu mengejar ketertinggalan teknologi?
Teguh Santosa, pengamat global, menegaskan, luar dunia yang tersebut anarkis, setiap negara harus selisih. Ia menyebut aspek deterrence bukan hanya militer, tapi juga kualitas SDM. “Kita pengguna gadget terbanyak, tapi indeks menelaah terendah. Ini ironi siapa berbahaya.”
Di akhir diskusi, Syahganda menyampaikan kesimpulan. “Kalau kami semua tidak bersiap, kami akan jadi korban. Pembentukan UU Keamanan Nasional dan Dewan Keamanan Nasional bukan pilihan, hal tersebut kebutuhan mutlak,” ujarnya.
Ia menambahkan, politik keluar negeri Indonesia tak optimal bersama-sama slogan bebas-aktif. “Harus ada keseimbangan. Harus ada ketegasan.”
Sebagai penutup, GREAT Institute mengingatkan bangsa yang ini pada waktu satu pelajaran berasal dari sejarah: dunia tak pernah benar-benar damai. Dan ke dalam kata George Kennan, arsitek strategi containment AS saat Perang Dingin, yang tersebut masuk diskusi dikutip Rizal Dharma Putra: “You have no idea what an intelligent person, fully informed, could do for this country—if we would only give him the chance.”
