
Jakarta, CNBC Indonesia sampai Pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia pusing dibuat kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mana segara saja mengumumkan kebijakan tarif impor terbaru. Trump mengumumkan akan memberlakukan tarif impor sebesar 32% sebagai tujuan semua produk Indonesia yang seperti masuk ke arah AS.
Kata Trump, tarif tersebut terpisah daripada tarif sektoral apa diberlakukan. Kebijakan hal tersebut akan diterapkannya mulai 1 Agustus 2025 nanti. Disebutkan, rencana Trump barang tersebut telah disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto melalui surat tanggal 7 Juli 2025.
Merespons kebijakan Trump itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta mengaku tak dapat berkata-kata. Sebab, saat ini, industri TPT nasional pun di posisi tengah dihadapkan gempuran barang impor.
Dari perhitungan Redma, ekspor benang dan garmen Indonesia arah ke AS bakal menanggung beban bea masuk (BM) setidaknya sebesar 57% dan 60%.
“Lagi lemes, mikir dulu. Jadi speechless (tak berdaya berkata-kata). Ekspor susah, domestik susah. BMAD ditolak saja benang-benang impor habis banjir, lain-lain juga banjir,” kata Redma kepada CNBC Indonesia, Kamis (7/10/2025).
“Ekspor kami semua menuju AS akan turun setidaknya 50%. Karena tarif aku dan kamu menuju AS bagi benang kan 5% (MFN), ditambah 10% (tarif dasar), ditambah BMAD 13%, (lalu akan) ditambah tarif 32%. Kalau garmen malah MFN-nya kena 15%,” tambahnya.
Terpukul Tarif Trump, Nasib Industri Garmen RI di Ujung Tanduk
Dia mengatakan, nasib benang dan produk hilir tekstil seperti garmen memang akan berbeda. Karena itu, imbuh dia, produk hilir seperti garmen akan lebih baik rentang terpukul efek kebijakan tarif Trump tersebut.
“Kalau untuk keperluan benang tidak akan lebih berpengaruh, karena sejak 2021 ekspor kami hingga AS sudah tidak banyak pasca terkena BMAD. Dan ekspor kain yang pakai benang lokal pun tidak banyak,” sebutnya.
“Ekspor kalian dan saya sebagian raksasa kan garmen, itu dia pun pakai kain impor. Jadi kejadian ini akan berpengaruh banyak pada waktu produsen garmen,” tambahnya.
Di sisi lain, industri garmen merupakan industri hilir TPT. Yang karakter industrinya lebih banyak kompak karya namun rentan modal. Sehingga, efek terburuk tarif Trump yang ini akan lebih besar mengguncang industri hilir TPT nasional.
“Karena kalau garmen kena tarif impor 57%, buyer (pembeli) AS akan mikir 1.000 kali bagi placement order di Indonesia. Ekspor TPT kita ke arah AS itu, 65%-nya adalah garmen,” ujarnya.
Karena itu, orang itu pun tampaknya tak menerima bersama pernyataan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita siapa menyebut daya saing tekstil RI masih lebih besar mulia dibandingkan Bangladesh.
“Bangladesh kan nggak kena tarif BRICS,” cetusnya.
“Mereka (AS) selesai menyiapkan industri luar negerinya dan suplai daripada Meksiko. Dan, sepertinya Vietnam akan jadi cadangan. Jadi siapapun mereka tidak lagi butuh Bangladesh,” tidak kabur Redma. Hal tersebut disampaikannya menjawab pertanyaan potensi tarif Trump akan senjata makan tuan dan menyulitkan industri di ke dalam negerinya.
Karena itu, Redma pun tak membantah, tidak ada solusi jangka pendek sekali strategis sebagai tujuan menangkal efek kebijakan Trump tersebut. Termasuk, rencana Indonesia hendak menjadikan kesepakatan melakukan tunggal ekonomi komprehensif bersama-sama Uni Eropa (UE), yaitu IEU CEPA alias CEPA Indonesia-Uni Eropa.
“CEPA Indonesia-UE agak penuh usaha karena juga belum ada perkembangan.” ucapnya.
“Untuk ekspor harus cari market lain, meski tidak cepat karena tetap harus bersaing bersama-sama China. Kalau domestik agak terus-menerus diharapkan. Pemerintah aku dan kamu kan masih kasih karpet mewah bagi produk China. Dan barang ini juga apa merancang AS kesal,” tukas Redma.
Karena itu, Redma pun mewanti-wanti efek buruk tarif Trump yang mana mengancam keberlangsungan industri tekstil hilir RI, seperti pabrik-pabrik garmen nasional. Sebab, hal barang tersebut tergantung buyer, yang tersebut berdaya saja langsung memutuskan tidak mengorder atau pangkas order per 1 Agustus 2025, saat tarif segara berlaku.
“Ini efeknya akan langsung berkurang order,” katanya.
(dce/dce)
