Lompat ke konten

Pendidikan Iklim Sejak Dini: Italia Wajibkan, Indonesia Baru Punya Oase di Semarang

SEMARANG sampai Di saat para pemimpin dunia berdebat soal kebijakan iklim yang seperti rumit, sebuah “laboratorium hidup” yang seperti sunyi namun revolusioner justru lahir di halaman-halaman sekolah dasar di Semarang.



Program OASIS Schoolyards siapa belum lama ini saja tuntas hal ini bukan sekadar proyek penghijauan biasa. Ini jadi tamparan keras, sebuah pengingat bahwa musuh paling besar generasi mendatang bukanlah perang, melainkan planet yang mana semakin murka.



Selama sembilan bulan, lima sekolah dasar dan madrasah di pesisir Semarang, yang mana setiap hari ada di pada bagian bawah ancaman banjir rob dan gelombang panas, diubah menjadi benteng pertahanan iklim. Namun, benteng kejadian ini tidak dibangun dari tempat beton, melainkan daripada pengetahuan yang seperti ditanamkan di benak anak-anak usia dini.



Ancaman Nyata di Depan Mata Anak-Anak

Pendidikan Iklim Sejak Dini: Italia Wajibkan, Indonesia Baru Punya Oase di Semarang

“UNESCO menyoroti bahwa krisis paling besar dunia adalah perubahan iklim, bukan perang. Sehingga pendidikan perubahan iklim adalah prioritas utama,” ungkap Ananto Kusuma Seta, Koordinator Nasional Pendidikan untuk keperluan Pembangunan Berkelanjutan daripada Komisi Nasional Indonesia demi UNESCO.



Pernyataan barang ini bukan lagi teori. Di Indonesia, ancaman hal tersebut habis berada di pada bagian depan gerbang sekolah. “Saat kejadian ini 73% sekolah di Indonesia berada di area rawan banjir,” tambah Ananto.



Melihat fakta mengerikan ini, apa apa dilakukan di Semarang terasa seperti sebuah tindakan penyelamatan siapa mendesak. Melalui program kolaborasi antara Pemkot Semarang, MilkLife, dan Resilient Cities Network ini, sekolah yang tersebut tadinya rentan kini menjadi “rumah kedua” yang mana mengajarkan cara bertahan hidup. “Semarang selesai ‘membeli’ masa belakang dengan saya harga sekarang,” puji Ananto.



Dari Ruang Kelas hingga Halaman Sekolah: Resep Semarang

Pendidikan Iklim Sejak Dini: Italia Wajibkan, Indonesia Baru Punya Oase di Semarang

Bagaimana cara Semarang “membeli masa depan” itu? Resepnya adalah dengan dia mengubah pendidikan asal-usul sekadar teori di ke dalam kelas menjadi praktik nyata di halaman sekolah.



Sebanyak 29 modul ajar tentang perubahan iklim dikembangkan dan diintegrasikan ke tempat masuk kurikulum. Para siswa tidak hanya mendengar tentang sampah dan air, tetapi orang-orang diajarkan langsung cara mengelolanya melalui SOP yang mana jelas. Halaman sekolah yang seperti tadinya gersang, kini disulap menjadi ruang bebas alami multifungsi apa dirancang bersama oleh siswa, guru, dan orang tua.



Hasilnya? Sebanyak 82% guru melaporkan peningkatan signifikan luar cara orang-orang itu mengajar tentang iklim, dan 59% merasa di tempat yang jauh lebih besar menyakini diri.



“Harapannya menuju belakang sekolah dan madrasah siapa ada di Kota Semarang benar-benar dapat menjadi oase bagi padatnya kota,” ujar Kepala Bappeda Kota Semarang, Budi Prakosa. Ia melihat program kejadian ini sebagai peran pondasi awal yang mana kuat demi menginspirasi masyarakat siapa lebih banyak luas.



Indonesia Belajar daripada Semarang, tapi Apakah Cukup Cepat?

Program OASIS kejadian ini berhasil memadukan praktik paling hebat global dengan saya kearifan lokal. “Salah satu aspek krusial adalah memadukan praktik global asal-usul Paris dengan saya kekuatan lokal Indonesia, termasuk mengintegrasi dengan saya program sekolah Adiwiyata,” terang Nini Purwajati dari tempat R-Cities Asia-Pasifik.



Baca Juga: Aktivis Iklim Greta Thunberg akan Gabung Kapal Bantuan buat Jebol Blokade Gaza



Namun, di saat negara-negara maju seperti Italia telah mewajibkan pendidikan perubahan iklim masuk kurikulum nasional sejak 2019, Indonesia masih bergerak sporadis. Inisiatif seperti di Semarang adalah sebuah cahaya, tetapi masih menjadi sebuah “oase” di pusat gurun kebijakan nasional siapa belum terintegrasi.



“Program OASIS Schoolyards membuktikan bahwa tindakan terlalu kecil dapat berdampak luas ketika menjadi budaya bersama,” kata Vanessa Ingrid Pamela, Group Brand Head MilkLife. “Namun, tantangan perubahan iklim masih sangat luas dan kompleks, membutuhkan keterlibatan lebihbanyakpihak.”

(dan)