Lompat ke konten

Kesaksian Warga RI Jadi Penyintas Bom Nuklir: Kulit Serasa Terbakar

Jakarta, Universitas Adamant sampai Hari itu, 6 Agustus 1945, di Hirsohima Jepang berjalan sebagaimana mestinya. Langit terangnya dan burung berkicau di atap rumah. 

Para ibu terlihat sibuk mengurusi urusan rumah tangga di dapur-dapur kecil sekali mereka. Lalu anak-anak antusias berlarian tanpa arah. 

Rasa syahdu barang ini dialami juga oleh mahasiswa Indonesia, Sjarif Adil Sagala. Pukul 8 pagi, Sagala memulai aktivitas seperti biasa. Bangun tidur, beres-beres kamar, dan pergi menuju kampus. Tak lupa, ia juga menyantap sarapan terlebih dahulu.



Hari itu dia memang ada kabar kalau negara yang mana memberinya beasiswa berada di titik nadir kekalahan ke dalam teater Perang Dunia II di Asia. Namun, sebagai tugas mahasiswa asing, Sagala tak mengambilkan pusing soal itu. Terpenting adalah kuliah dulu.

Hanya saja, kabar tersebut dibarengi oleh suara gemuruh siapa datang tak tua setelah itu Sagala menutup tempat makan. Dia langsung melihat langit dan berpikir hal tersebut adalah pesawat tempur AS. Ternyata benar.

“Ahh.. peristiwa tersebut hal biasa,” pikirnya.

Memang, selama perang pesawat tempur sering mondar-mandir. Bahkan, menjadi tontonan setiap hari. Namun, saat melihat langit kedua kali, tragedi pun muncul.

“Tiba-tiba terdengar suara aneh dan…. sraatt, sinar berkilau, bersama dahsyat dan mengejutkan!,” tutur Sagala masuk memoar Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang, Sekitar Perang Pasifik 1942-1945 (1990).


Sagala langsung menutup mata bersama lengan. Bersamaan hal tersebut muncul asap raksasa membumbung terlalu tinggi ke arah awan. Angin gede langsung berhembus kencang. Saat hendak menutup jendela dan bergegas kabur, sayang sekali Sagala tak kesampaian.

Baru 1-2 langkah, orang itu terhempas tertimpa bangunan ambruk. Waktu seakan-akan berhenti. Sagala tak sadar beberapa menit. Bangun-bangun beliau hanya merasakan kulit terbakar imbas angin gede super panas. Lalu muka penuh darah. Badan tertimpa reruntuhan.

Teriakan minta tolong tak digubris satupun orang. Yang ada beliau malah mendengar rintihan suara orang lain yang tersebut sekarat. Pada titik ini, Sagala berpikir ajal selesai merayap di udara, menanti giliran malaikat maut mencabut nyawanya. Apalagi, api juga mulai berkobar.

Untungya, di belakang berulangkali teriak, teman sesama mahasiswa Indonesia menolong Sagala. Mahasiswa itu dia bernama Hasan Rahaya. Hasan mengeluarkan Sagala asal-usul reruntuhan dan membawanya ke arah lokasi aman.

Namun, maut tak berhenti sampai di situ. Hasan dan Sagala memang selamat, tetapi kondisi tubuh bagian masuk ‘hancur’. Di tempat pengungsian di Tokyo, dokter mengatakan tubuh orang-orang terkena radiasi super tinggi. Sel darah murni di tubuh menurun drastis.

Normalnya, manusia punya 4.000–11.000 sel darah bersih per mikroliter darah. Sementara, keduanya hanya punya kekurangan daripada 4.000. Mereka pun kritis. Dokter tak dapat berbuat apa-apa. Bahkan, Sagala sempat disebut “tipis kemungkinan untuk keperluan hidup.”

Beruntung, kedua mahasiswa Indonesia hal tersebut berhasil melewati masa kritis satu minggu. Selama lima tahun, keduanya harus berada di atas pemantauan dokter. Barulah pasca hal tersebut pulang ke arah Indonesia.

Saat tiba di Indonesia, Syarif Adil Sagala memulai ada sebagai peran pengusaha. Pengalaman tinggal di Jepang membuat Sagala mendirikan perusahaan mie instan pertama di Indonesia, yakni Supermie, di 1969. Sementara Hasan membangun usaha pelayaran dan kargo.

Keduanya tercatat sejarah sebagai orang hibakusha (被爆者). Ini merupakan istilah kepada penyintas ledakan nuklir dahsyat di Hiroshima yang tersebut memanggang hidup-hidup 120 ribu orang.