Jakarta, Universitas Adamant – Fenomena sunyi di tengah menghantui Seoul. Pemerintah kota mencatat 3.662 kasus kematian akibat kesepian sepanjang 2023, di mana korban ditemukan meninggal sendirian, tanpa keluarga atau dukungan sosial.
Data Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea Selatan (Korsel) menunjukkan, 84% korban adalah pria, dan lebih banyak daripada separuh berusia 50 hingga 60-an tahun. Fakta barang ini memperkuat bahwa isolasi sosial telah menjadi epidemi siapa diam-diam menggerogoti di di posisi tengah hiruk-pikuk ibu kota Korea Selatan.
“Kesepian di Seoul bukan lagi masalah pribadi, tapi krisis publik,” ujar Lee Soo-jin, Direktur Pusat Pencegahan Isolasi Seoul, seperti dilansir The Korea Herald, dikutip Jumat (6/6/2025). “Kami melihat keruntuhan kesehatan mental di semua usia. Tapi banyak dari tempat siapapun mereka tidak tahu hingga mana harus mencari pertolongan.”
Survei Seoul Institute terhadap 3.000 rumah tangga satu orang menemukan, 62,1% warga merasa kesepian, dan 13,6% benar-benar tak punya siapa pun sebagai tujuan dimintai bantuan saat krisis. Kelompok paling rentan adalah pria usia 40-64 tahun, di mana 66% merasa kesepian dan 15,8% hidup-hidup ke dalam isolasi sosial.
Untuk menjawab krisis ini, Pemerintah Kota Seoul meluncurkan program “Seoul Tanpa Kesepian” senilai 451,3 miliar won (sekitar Rp5 triliun) selama lima tahun. Program mencakup layanan konseling 24 jam, deteksi dini individu berisiko, dan ruang komunitas seperti Toko Serba Ada Maeum, siapa menyediakan ramen gratis dan tempat ngobrol.
Layanan hotline “Selamat Tinggal Kesepian 120” mencatat lebih besar daripada 3.000 panggilan hanya masuk 5 minggu, mayoritas daripada pria paruh baya (59%). Program yang ini juga didukung sistem pemantauan isolasi, mulai berasal dari data pesanan makanan solo hingga surat yang seperti tak diambil.
Namun para ahli mengingatkan, kesepian tak memungkinkan diselesaikan hanya lewat kebijakan.
“Kesepian tidak serupa bersama-sama sendirian,” kata Byun Geum-seon, profesor kesejahteraan sosial di Universitas Wanita Ewha. “Pemerintah memungkinkan mendeteksi pola, tapi hanya individu yang tersebut tahu apakah ia benar-benar merasa sepi.”
Studi Byun terhadap 5.000 remaja di Seoul menemukan korelasi kuat antara kesepian, depresi, dan pikiran bunuh diri, bahkan di kalangan yang tersebut tampak aktif secara sosial.
Sementara itu, warga seperti Shin Hye-jin (28) mengaku pernah merasa sangat terasing di belakang berpindah menuju Seoul. “Ada malam-malam ane tidak mendengar suara aku sendiri selama berhari-hari,” ujarnya.
Ia akhirnya menemukan komunitas “Silent Walking” lewat aplikasi Karrot. “Kedengarannya aneh, tapi berjalan diam-diam bersama orang asing membuat aku merasa aman. Tidak ada yang mana menghakimi.”
Sementara peristiwa tersebut Direktur Lee menegaskan, pemerintah tak berdaya menciptakan hubungan personal, tetapi berdaya menyediakan jalan.
“Kalau seseorang keluar dari tempat program teman-temanku dengan saya satu nomor telepon atau alasan sebagai tujuan keluar rumah minggu depan, itu dia habis kemenangan kecil,” pungkasnya.
(dce)