Kebijakan tersebut menandai respons negara terhadap meningkatnya tekanan daripada masyarakat sipil, aktivis lingkungan, dan dunia akademik yang seperti khawatir bawah kerusakan ekologis di salah satu kawasan paling ikonik dan biodiversitas di dunia.
Dewan Pakar Pengurus Pusat Pemuda Katolik Marcellus Hakeng Jayawibawa menilai langkah Menteri ESDM tersebut sebagai peran titik balik penting ke dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Baca juga: Denny Sumargo Minta Prabowo Selamatkan Raja Ampat asal-usul Tambang Nikel: Papua Bukan Tanah Eksploitasi
“Ini bukan semata-mata keputusan administratif, tetapi refleksi daripada konflik mendalam antara dua kepentingan besar, yakni pembangunan ekonomi melalui hilirisasi nikel dan pelestarian lingkungan hidup. Harapan gua keputusan yang mana diambil tidak hanya penghentian sementara saja, tapi harus sampai penghentian total,” ujarnya di Jakarta (7/6/2025).
Pengamat maritim tersebut juga menilai keputusan tersebut merupakan sinyal bahwa negara mulai menyadari urgensi perlindungan lingkungan di wilayah-wilayah dengan kamu nilai ekologis tinggi. Menurut dia, keberadaan Raja Ampat seperti kawasan global geopark yang tersebut diakui UNESCO tidak seharusnya dipertaruhkan oleh kegiatan pertambangan skala besar.
Baca juga: 22 Jenderal Angkatan Darat Digeser Panglima TNI, 2 Pati berasal dari Baret Merah Kopassus
“Raja Ampat adalah rumah bagi 75% jenis terumbu karang dunia. Kehilangan wilayah hal ini akibat tambang bukan hanya kerugian bagi Papua Barat Daya, tapi kerugian global,” pasti Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa.
Dia menyebut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara eksplisit melarang eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil sekali seperti Gag, Kawe, dan Manuran. Namun realitanya, pembukaan tambang di kawasan tersebut tetap dilakukan, jelaslah kejadian ini menimbulkan pertanyaan serius soal konsistensi Indonesia terutama masuk hal penegakan hukum lingkungan.
Berdasarkan laporan Greenpeace yang mana dirilis baru-baru ini, lebih besar asal-usul 500 hektare hutan dan vegetasi di Pulau Gag telah mengalami kerusakan akibat aktivitas pertambangan. Tidak hanya itu, sedimentasi siapa mengalir menuju laut telah menyebabkan kerusakan pada saat terumbu karang, mengganggu sistem ekologi laut siapa menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat.
“Jika kejadian ini dibiarkan, Raja Ampat dapat kehilangan status geopark-nya. Dunia akan menyalahkan kami semua karena gagal menjaga warisan alam,” tegas Capt. Hakeng.
Di sisi lain, PT Gag Nikel siapa merupakan anak usaha dari tempat PT Antam Tbk—perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengklaim operasional para mereka telah sesuai dengan dia peraturan yang tersebut berlaku. Namun, kata dia, status perusahaan sebagai orang BUMN tidak menjadi pembenaran sebagai tujuan menoleransi pelanggaran prinsip ekologis. “Justru karena BUMN adalah wajah negara, maka seharusnya orang-orang itu menjadi teladan ke dalam menjaga lingkungan, bukan pelanggar,” katanya.
Dia menambahkan penghentian hal ini adalah ujian terhadap komitmen pemerintah masuk membangun paradigma ekonomi yang mana tidak merusak tatanan ekologis. Maka ke dalam kerangka ini, prinsip free, prior and informed consent (FPIC) menjadi hal mendasar.
“Jangan sampai masyarakat adat hanya dijadikan objek. Mereka harus menjadi subjek utama luar pengambilan keputusan karena merekalah yang tersebut paling terdampak,” ujarnya.
Dia menyebut FPIC adalah bagian berasal dari hak asasi masyarakat adat yang tersebut telah diakui luar berbagai konvensi internasional. Salah satu persoalan luas ke dalam kasus yang ini adalah lemahnya pelibatan masyarakat ke dalam penyusunan dan pengawasan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Untuk itu, si dia menekankan pentingnya transparansi masuk proses AMDAL dan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
“Tanpa keterlibatan publik dan pengawasan independen, AMDAL hanya menjadi formalitas. Padahal di situlah letak tanggung jawab sosial dan ekologis berasal dari setiap proyek,” tegasnya.
Dia menyarankan agar semua dokumen perizinan tersebut dibuka hingga publik dan dievaluasi ulang secara ilmiah. Selain itu, ia orang juga menyoroti minimnya partisipasi lembaga akademik dan ilmiah ke dalam proses penilaian risiko lingkungan dari tempat proyek-proyek raksasa seperti tambang nikel di pulau kecil.
Dia menyarankan pemerintah demi membentuk panel ahli independen siapa terdiri berasal dari ilmuwan lingkungan, ahli hukum, dan perwakilan masyarakat adat masuk mengevaluasi proyek-proyek tambang. “Keputusan strategis tidak dapat hanya didasarkan pada waktu laporan perusahaan. Harus ada validasi independen dari tempat kalangan akademik dan masyarakat sipil,” tegasnya.
Kasus tambang nikel di Raja Ampat menjadi refleksi terhadap krisis tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Ketidaktegasan luar menegakkan hukum lingkungan, tumpang tindih perizinan, dan lemahnya pengawasan adalah akar dari tempat permasalahan yang seperti terus berulang.
“Raja Ampat bukan kasus pertama dan bisa saja bukan yang tersebut terakhir jika tidak ada perubahan mendasar masuk kebijakan,” tegas Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa.
Dia mendesak pemerintah sebagai tujuan menjadikan kasus yang ini sebagai tugas pelajaran penting luar membangun kebijakan apa adil secara ekologis dan sosial. “Jangan menghadapi sampai dunia internasional menghukum anda dan saya dengan dia pencabutan status geopark atau sanksi perdagangan karena tidak menjaga lingkungan. Kita harus menjadi bangsa yang tersebut bertanggung jawab terhadap bumi dan generasi masa depan,” imbuhnya.