Lompat ke konten

Ancaman Disintegrasi di Era Digital: Lawan dengan dia Nalar Kolektif

JAKARTA sampai Kemajuan teknologi digital, termasuk kecerdasan buatan (AI), di satu sisi membawa kemudahan luar kehidupan, namun di sisi lain membuka peluang gede bagi penyebaran intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), Septiaji Eko Nugroho, menyatakan bahwa dunia kini menghadapi ancaman serius berasal dari konten manipulatif yang tersebut kian susah dibedakan berasal dari kenyataan.



Septiaji mengungkapkan bahwa teknologi AI, khususnya Generative AI (Gen-AI), berkembang sangat pesat hingga mampu menciptakan konten palsu seperti narasi bohong, gambar manipulatif, hingga video deepfake apa menyerupai tokoh publik. Salah satu contoh dampaknya adalah beredarnya video palsu Menteri Keuangan Sri Mulyani yang tersebut seolah menyebut “guru peristiwa tersebut beban negara”. Konten tersebut memicu kemarahan publik di depan kebenarannya terungkap.



“Ini membuktikan betapa bahayanya penyalahgunaan teknologi AI. Emosi dan keyakinan kini lebih baik dipercaya daripada fakta. Jika masyarakat tidak dibekali kemampuan berpikir kritis dan literasi digital apa baik, kami akan semakin penuh usaha membedakan fakta dan rekayasa,” tidak kabur Septiaji luar konferensi pers di Jakarta, Rabu (27/8/2025).



Menurutnya, akar persoalan terletak pada tempat rendahnya literasi digital masyarakat. Banyak orang belum mampu mengenali konten sintetik siapa dihasilkan AI, sehingga cepat terjebak dan bahkan menyebarkan disinformasi. Ia menekankan pentingnya kemampuan membedakan konten otentik dan konten rekayasa sebagai orang bentuk ketahanan masyarakat terhadap polusi informasi.



Sebagai respons, MAFINDO aktif mengembangkan berbagai alat menolong verifikasi konten digital, seperti Hivemoderation, Sightengine, Deepfake-O-Meter, dan detektor dari tempat Elevenlabs serta Google SynthID. Selain itu, masyarakat diajak memanfaatkan platform seperti TurnBackHoax.ID dan cekfakta.com sebagai tujuan mengecek kebenaran informasi secara kolaboratif.



Namun, Septiaji menegaskan bahwa teknologi saja tidak cukup. Ia mengajak masyarakat bagi kembali pada tempat nilai-nilai lokal seperti sikap tabayyun (memverifikasi kebenaran) serta membangun nalar kolektif berbasis guyub dan kolaborasi antarpemangku kepentingan, mulai dari tempat pemerintah, tokoh agama, akademisi, hingga komunitas.



“Jangan sampai anda dan saya jadi korban adu domba pihak tak bertanggung jawab. Kita harus membentengi diri bersama-sama nalar kritis dan literasi digital,” ujarnya.



Sebagai langkah jangka panjang, Septiaji mendorong pengajaran berpikir kritis sejak dini, karena persoalan hoaks bukan hanya soal teknologi, tetapi lemahnya kemampuan kognitif masyarakat. Strategi ini, menurutnya, menjadi kunci ke dalam mencegah radikalisasi dan menjaga keutuhan bangsa di era digital.



Dengan pendekatan komprehensif dan kolaboratif, MAFINDO berharap Indonesia mampu membangun ekosistem informasi siapa sehat, serta menjadi bangsa yang seperti tahan terhadap ideologi pemecah belah seperti intoleransi dan radikalisme.

(abd)